♚ ♛♚♚ ♛♚ ♛♚ ♛♚ ♛♚ ♛ ♛♚ ♛♚ ♛♚ ♛♚ ♛♚ ♛♚ ♛♚ ♛♚ ♛♚ ♛♚ ♛♚ ♛♚ ♛♚ ♛♚ ♛♚ ♛♚ ♛♚ ♛♚ ♛♚ ♛♚ ♛♚ ♛♚ ♛♚ ♛

Sabtu, 19 Oktober 2013

Catatan Paman Saya "Musik, Tuhan dan Universalitas Imaginasi Manusia"

Musik, Tuhan dan Universalitas Imaginasi Manusia


"Saya cenderung menyukai musik yang tidak populer, yang tidak disukai banyak orang, karena musik populer musik yang pasaran kadangkala hanya dipaksakan" begitu komentar abang saya sembari memilih beberapa lagu di MP3 yang kami putar malam itu. Kami memang lama tidak pernah bertemu, ternyata Ia memahami lebih dalam tentang musik dibalik kerja kesehariannya sebagai seorang dokter di daerah Cepu.
Ia memutar beberapa tembang Blues tahun 80-an yang saya sendiri tidak familier. Tapi uniknya, permainan gitar dari alat pemutar itu bisa menggetarkan hati saya.

Musik, bagaimanapun bagi sebagian besar orang adalah bahasa universal. Ia juga sekaligus identitas yang bisa jadi rujukan untuk melihat karakteristik orang; dalam hubungan sosialnya dengan masyarakat. Lebih jauh lagi, musik juga bisa menterjemahkan bagaimana manusia bisa menunjukan kecintaannya pada Tuhan.

Suatu ketika, dalam pengajian Kenduri Cinta di Jakarta, Sabrang Damar Mowo Pinuluh atau yang akrab disapa Noe Letto, pernah ditanya, kenapa grup band yang digawangi putera Emha Ainun Najib itu tidak mencoba membuat album religi? Ternyata jawabannya mengejutkan, sederhana, seperti bapaknya biasa menjawab fenomena masyarakat dalam kajian rutinnya.

"Musik religi? wong semua musik Letto itu religi, saya menawarkan lagu cinta, dan cinta itu luas, bisa hubungan verbal manusia dengan manusia atau lebih jauh hubungan vertikal manusia dengan Tuhannya, tergantung anda menterjemahkan. Nah, religi to?" terangnya kala itu.

Ia menolak pemisahan musik religi dan tidak religi. Musik musiman yang biasa diperdengarkan kala bulan ramadhan, biasanya liriknya tentang sholawat atau pujian dalam bahasa arab; dianggap musik religi. Sedangkan musik lainnya dengan bahasa yang lebih luas, bahasa keseharian dianggap tidak religi.

Menarik memang, musik adalah penentu identitas, tapi musik sendiri tak beridentitas, lebih jauh Ia tak memiliki agama. Musik Qasidah yang menjadi tontonan hiburan saya di Jawa Tengah, biasa diidentikan dengan musik Islami. Tapi, meski saya bukan pengamat musik, saya tetap tidak bisa menerima 100 persen bahwa musik yang aransemennya biasa-biasa saja itu sebagai satu-satunya musik yang mencerminkan budaya Islam. Bahkan tak jarang diiringi tarian yang bagi budaya arab sendiri hal itu terlalu vulgar.

Saya setuju dengan komentar Bung Syu'ba Asa tempo hari yang dengan tegas mengatakan bahwa musik dan Tuhan adalah bagian yang sulit dijelaskan. Tapi manusia telah membuat justifikasi yang menjurus pada pemahaman sempit dalam penggambaran kecintaan manusia pada Tuhan melalui media musik. Ketika berbicara Islam maka musiknya harus Qasidah, harus pakai gambus atau dengan lirik-lirik bahasa Arab yang sulit dipahami orang awam.

"Bukankah musik-musik klasik karya Beethoven dan Bach yang banyak diterima orang, jika benar-benar dinikmati, anda bisa menemukan Tuhan di dalamnya?" kata Syu'ba Asa.

Saya sendiri tidak bisa menolak, kecintaan terhadap simfoni pastoral gaya Beethoven dan Bach yang memang bisa membawa imaginasi saya menemukan keagungan dan kebesaran Tuhan. Saya sering menikmatinya. Bahkan Emha Ainun Najib bersama Kyai Kanjeng juga sering membawakannya; tentu dengan ditambah lirik seperti Sholawat. Intinya bukan pada musiknya tapi pada maksud dan tujuan pemainnya, juga pendengarnya, ibaratnya musik hanyalah jalan dan variasinya itu adalah kendaraannya yang membawa kita pada kebesaran Tuhan. Ia bisa diganti dengan imaginasimu sendiri memainkannya. Tak harus Qosidah, tak harus Nasyid, ia bisa universal; Grunge, Punk, Rock atau Soul, Rap, bisa juga berbicara soal Tuhan. Asal Ia bisa membawa pendengarnya pada kesadaran serta menyentuh pendengarnya pada kebesaran Tuhan.  Sama seperti kecintaan abang saya itu kepada musik-musik yang tak populer.

Di salah satu daerah kumuh yang dipenuhi imigran asal Aj Jazair di Prancis, muncul pemusik-pemusik muda yang membuktikan itu. Ia membawakan dakwah-dakwah Islami dalam balutan musik RAP. Sasarannya jelas, menyentuh kalangan muda pecinta musik Rap untuk tetap mengingat Tuhan. Ia menjalankan misi dakwa dalam warna musik modern yang ditawarkan itu.

Pernahkah terbesit tanya dalam diri anda, seandainya Nabi Muhammad hidup dijaman ini, apakah Ia tetap berjubah seperti orang Arab pedalaman dari gurun-gurun yang luas itu? atau Ia memilih mengenakan pakaian universal seperti celana, dasi dan jas? bukankah Ia pemimpin besar peradaban, lebih dari seorang Presiden!. Jika demikian, maka, apakah musik Islam itu juga tidak boleh mengikuti jaman? me-universalkan dirinya? Semua kembali kepada anda, apakah anda memandang musik itu sebagai sarana edukatif yang benar atau sekedar menganggapnya sebagai wadah kesenangan kalangan formal keagamaan belaka.

Dalam sebuah pidato Soekarno pernah berkata, "Jika ingin menemui kejayaan, Islam itu tidak harus kembali ke masa lalu, tapi harus mengejar ketertinggalannya 1000 tahun kedepan" Jika demikian, maka musik juga demikian. Ia harus mengikuti jamannya, seperti Sunan Kalijaga dan Walisongo yang menggunakan gamelan untuk media musik dakwah dijamannya.  Saya lebih merinding mendengar alunan Syiir Tanpo Waton yang dipopulerkan Gus Dur daripada mendengar lantunan A'tini an-Naya milik Fairuz dari Libanon, meski lirik-liriknya ciptaan penyair terkenal; Kahlil Gibran.  Saya lebih memahami arti dan maknanya.



Magid, Pangenrejo 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar